BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit
Hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan
pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal
dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit Hirschsprung
adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia
akan tetapi yang paling sering pada neonatus.
Penyakit
Hirschsprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan
abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan
evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak
mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi
usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat
terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus
proksimal.
Pasien
dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana
Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan
ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi
ganglion. Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi Hirschsprung
di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000
kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Insidens keseluruhan dari penyakit Hirschsprung
1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan
( 4: 1 ). Biasanya, penyakit Hirschsprung terjadi pada bayi aterm dan jarang
pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan
termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya
kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah
berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit Hirschsprung diduga
dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.
Oleh
karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan
yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi,
rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu
dengan pembedahan dan colostomi.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana konsep
penyakit Hirschsprung ?
2.
Bagaimana asuhan
keperawatan pada penyakit Hirschsprung ?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui
konsep penyakit Hirschsprung
2.
Untuk mengetahui
asuhan keperawatan pada penyakit Hirschsprung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
1.
Hirschsprung (megakolon/aganglionic congenital) adalah
anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan
motilitas sebagian usus (Wong, 1996).
2.
Hirschsprung merupakan tidak ada atau kecilnya sel saraf
ganglion parasimpatik pada pleksus meinterikus dari kolon distalis, 1986). Daerah yang terkena dikenal sebagai
segmen aganglionik (Catzel & Robert, 1992).
B.
Etiologi
Penyebab tidak
diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi genetic (Amiel, 2001). Mutasi
pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B
pada penyakit Hirschsprung familiar (Edery, 1994). Gen lain yang berhubungan
dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan
dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen endothelin -3 (Marches,
2008). Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down syndrome, sekitar 5-15%
dari pasien dengan penyakit Hirschprung juga memiliki trisomi 21 (Rogers,
2001).
C.
Tipe Hirschsprung
Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996).
Hirschsprung dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena, hirschsprung
dibedakan menjadi dua tipe berikut :
1.
Segmen Pendek
Segmen pendek
aganglionisis mulai dari anus sampai sigmoid,terjadi pada sekitar 70% kasus
penyakit Hirschsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidennya 5
kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita dan kesempatan saudara
laki-laki dari penderita anak untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20
(Sacharin, 1986)
2.
Segmen Panjang
Daerah
aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat mengenai seluruh
kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang
sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin (Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1996: Sacharin, 1986).
D.
Manifestasi Klinis
Obstipasi (sembelit) merupakan
tanda utama pada Hirschsprung, dan pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala
obstruksi akut. Tiga tanda (Trias) yng sering ditemukan meliputi mekonium yang
terlambat keluar (lebih dari 24 jam), perut kembung, muntah berwarna hijau.
Pada neonatus, kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama
3 hari dan bahkan lebih mungkin menandakan terdapat obstruksi rektum dengan
distensi abdomen progresif dan muntah, sedangkan pada anak yang lebih besar
kadang-kadang ditemukan keluhan adanya diare atau enterokolitis kronik yang
lebih menonjol daripada tanda-tanda obstipasi (sembelit).
Terjadinya diare yang
berganti-ganti dengan konstipasi merupakan hal yang tidak lazim. Apabila
disertai dengan komplikasi enterokolitis, anak akan mengeluarkan feses yang
besar dan mengandung darah serta sangat berbau dan terdapat peristaltik dan
bising usus yang nyata. Sebagian besar tanda dapat ditemukan pada minggu
pertama kehidupan, sedangkan yang lain ditemukan sebagai kasus konstipasi
kronik dengan tingkat keparahan yang meningkat sesuai dengan pertambahan umur
anak. Pada anak lebih tua biasanya terdapat konstipasi kronik disertai
anoreksia dan kegagalan pertumbuhan.
E.
Patofisiologi
Dalam keadaan
normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan disepanjang usus karena
adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini
disebut gerakan peristaltic). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh
sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot.
Pada penyakit Hirschprung ganglion / pleksus yang memerintahkan gerakan
peristaltic tidak ada, biasanya hanya
sepenjang beberapa sentimetir. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan
peristaltic tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna sehingga terjadi
penyumbatan (Dasgupta, 2004).
Dengan kondisi
tidaka adanya ganglion, maka akan memberikan manisfestasi gangguan atau tidak
adanya peristalsis sehingga akan terjadi tidak adanya evakuasi usus spontan.
Selain itu sfingter rectum tidak dapat berelaksasi secara optimal, kondisi ini
dapat mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus kemudian terdorong ke
segmen aganglionik dan terjadi akumulasi feses di daerah tersebut sehingga
memberikan manifestasi dilatasi usus pada bagian proksimal.
Kondisi penyakit
Hisrchsprung memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien dan memberikan
implikasi pada penderita asuhan keperawatan.
F.
Pemeriksaan
penunjang
1.
Pemeriksaan kolok dubur
Pada penderita Hisrchsprung, pemeriksaan colok anus sangat penting untuk dilakukan. Saat
pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena lumen rectum yang sempit.
Pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mukonium (feses) yang
menyemprot.
2.
Pemeriksaan lain :
a)
Foto polos abdomen tegak akan
memperlihatkan usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
b)
Pemeriksaan radiologis akan
memperlihatkan kelainan pada kolon setelah enema barium. Radiografi biasa akan
memperlihatkan dilatasi dari kolon diatas segmen aganglionik
c)
Biopsy rectal dilakukan dengan
anastesi umum, hal ini melibatkan diperolehnya sampel lapisan otot rectum untuk
pemeriksaan adanya sel ganglion dari pleksus Aurbach (biopsy) yang lebih
superficial untuk memperoleh mukosa dan submukosa bagi pemeriksaan pleksus
meissner.
d)
Manometri anorektal merupakan uji
dengan suatu balon yang ditempatkan dalam rectum dan dikembangkan. Secara
normal, dikembangkannya balon akan menghambat sfingter ani interna. Efek
inhibisi pada penyakit Hisrchsprung tidak ada jika dan jika balon berada dalam
balon aganglionik, dapat diidentifikasi gelombang rectal yang abnormal. Uji ini
efektif dilakukan pada masa neonatus karena dapat diperoleh hasil baik positif
palsu ataupun negative palsu.
G.
Penatalaksanaan
Setelah ditemukan kelainan
histologik dari Hisrchsprung, selanjutnya mulai
dikenal teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan definitive
bertujuan menghilangkan hambatan pada
segmen usus yang menyempit.
1.
Tindakan konservatif adalah
tindakan darurat untuk menghilangkan tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan
memasang anal tube dengan atau tanpa
disertai pembilasan air garam hangat secara teratur. Air tidak boleh digunakan
karena bahaya absorpsi air mengarah pada intoksikasi air, hal ini disebabkan
karena difusi cepat dari usus yang mengalami dialatasi air ke dalam sirkulasi
(Sacharin,1986). Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan mencegah
enterokolitis dapat dilakukan dengan bilas kolon mengunakan garam faal. Cara
ini efektif dilakukan pada Hisrchsprung tipe segmen pendek-untuk tujuan yang
sama juga dapat dilakukan dengan tindakan kolostomi didaerah ganglioner.
2.
Membuang segmen aganglionik dan
mengembalikan kontiuitas usus dapat dikerjakan dengan satu atau dua tahap.
Teknik ini disebut
a. operasi definitive yang dapat dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup
(lebih dari 9 kg). tindakan konservatif ini sebenarnya akan mengaburkan
gambaran pemeriksaan barium enema yang dibuat kemudian.
3.
Kolostomi merupakan tindakan
operasi darurat untuk menghilangkan gejala obstruksi usus, sambil menunggu dan
memperbaiki keadaan umum penderita sebelum operasi definitive. Berikan dukungan
pada orang tua. Karena kolostomi sementara sukar diterima. Orang tua harus
belajar bagaimana merawat anak dengan kolostomi, obsevasi apa yang perlu
dilakukan, bagaimana membersihkan stoma, dan bagaimana menggunakan kantong
kolostomi.
4.
Intervensi bedah terdiri atas
pengangkatan segmen usus aganglionik yang mengalami osbtruksi. Pembedahan
rektosimoidektomi dilakukan dengan teknik pull-through
dan dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua, dan Tahap ketiga
rektosigmoidoskopi didahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam
prosedur tahap kedua. Pull-through (Swenson,renbein
dan Duhamel) yaitu jenis pembedahan dengan mereksesi segmen yang menyempit dan
menarik usus sehat ke arah anus.
a. Operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosis intususepsi ujung ke
ujung usus aganglionik dan ganglionik
melalui anus dan reseksi serta anastomosis sepanjang garis bertitik-titik.
Secara lebih spesifik prosedur Duhamel dilakukan dilakukan dengan cara menaikan
kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus
aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubang aganglionik dan bagian
posterior kolon normal yang telah ditarik.
b. operasi soave dilakukan dengan cara mukosa diangkat, bagian muscular usus
yang aganglionik ditinggalkan dan usus ganglionik didorong sampai menggantung
dari anus. Cara Duhamel dan Soave bagian distal rectum tidak dikeluarkan sebab
merupakan pase operasi yang sukar dikerjakan, anastomosis koloanal dibuat
secara tarik terobos (Pull through).
5.
Persiapan prabedah rutin antara
lain Lavase kolon, antibiotic, infus intravena, dan pemasangan Tuba
nasogastrik, sedangkan penatalaksanaan perawatan pasca bedah terdiri atas
perawatan luka, perawatan kolostomi, observasi, terhadap distensi abdomen,
fungsi kolostomi, peritonitis, ileus paralitik, dan peningakatan suhu.
6.
Selain melakukan persiapan serta
penatalaksanaan pasca bedah, perawat juga perlu memberikan dukungan pada orang
tua, karena orang tua harus belajar bagaimana merawat anak dengan suatu
kolostomi, mengobservasi apa yang harus dilakukan, bagaimana membersihkan
stoma, dan bagaimana menggunakan kantong kolostomi.
7.
HOME CARE
HIRSCHSPRUNG
Perencanaan pulang dan perawatan di
rumah :
1.
Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan
gejala komplikasi jangka panjang yaitu :
a.
Stenosis dan konstriksi
b.
Inkontinesia
c.
Pengosongan usus yang tidak adekuat
2.
Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan
anak
a.
Persiapan kulit
b.
Penggunaan alat kolostomi
c.
Komplikasi stoma ( perdarahan, gagal devekasi, diare,
prolaps, feses seperti pita).
e.
Irigasi kolostomi
3.
Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang pelaksanaan
diet.
a.
Makanan rendah sisa
b.
Masukan cairan tanpa batas
c.
Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit atau dehidrasi
4.
Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan
perasaannya tentang kolostomi.
a.
Tampilan
b.
Bau
c.
Ketidaksesuaian antara anak mereka dan
anak ideal
5.
Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang
dapat diberikan pada orang tua tentang perawatan rumah.
8. WOC Hirschsprung
8. WOC Hirschsprung
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN HIRSCHSPRUNG
A. Pengkajian.
1.
Identitas.
Penyakit ini
sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal.
Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada
segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi
sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak
laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
B. Riwayat Keperawatan.
1.
Keluhan utama.
Obstipasi
merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan
adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut
kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
2. Riwayat
penyakit sekarang.
Merupakan
kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir
dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering
mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi
selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi
abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
3.
Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi
terjadinya penyakit Hirschsprung.
4.
Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini
diturunkan kepada anaknya.
C. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan
yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada survey umum terlihat
lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana
menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda
dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis.
Pada
pemeriksaan fisik focus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan didapatkan
:
Inspeksi : Tanda khas didapatkan adanya distensi
abnormal. Pemeriksaan rectum dan fese akan didapatkan adanya perubahan feses
seperti pita dan berbau busuk.
Auskultasi :
pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut dengan hilangnya
bisng usus.
Perkusi :
Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
Palpasi : Teraba
dilatasi kolon abdominal.
1.
Sistem kardiovaskuler.
Takikardia.
2.
Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.
3.
Sistem pencernaan.
Umumnya
obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak yang
lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan
dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau
tinja yang menyemprot.
4. Sistem
saraf.
Tidak ada
kelainan.
5. Sistem
lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan
rasa nyaman : nyeri
6. Sistem
endokrin.
Tidak ada
kelainan.
7. Sistem
integumen.
Akral hangat,
hipertermi
8. Sistem
pendengaran.
Tidak ada
kelainan.
D. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
1.
Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar
atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
2.
Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi,
gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis
pada segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
3. Biopsi isap,
mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
4.
Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
5. Pemeriksaan
aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas
enzim asetilkolin eseterase.
E.
Diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul
- Risiko konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik
- Risiko ketidakseimbangan volume cairan/elektrolit tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.
- Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus
- Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen, iritasi intestinal, respon pembedahan
- Risiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan penurunan volume darah, sekunder dari absorpsi saluran intestinal, muntah-muntah.
- Risiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang adekuat.
- Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan
- Pemenuhan informasi berhubungan dengan adanya kolostomi, evaluasi diagnostic, rencana pembedahan, dan rencana perawatan rumah.
- Risiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan perubahan kondisi psikososial anak selama dirawat sekunder dari kondisi sakit.
- Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, miniterpretasi informasi, rencana pembedahan
F.
Analisa Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah keperawatan
|
||||||
Ds : anak terus rewel
Do : konstipasi, tidak ada mekonium
> 24-48 jam pertama, kembung, distensi abdomen, peristaltic menurun
|
Segment pendek/ segment panjang
Peristaltic dalam segment
Obstruksi kolon
|
Risiko konstipasi
|
||||||
Ds : tidak mau minum, rewel
Do : mukosa mulut kering, ubun-ubun
dan mata cekung, turgor kulit kurang elastic
|
Mual, muntah, kembung
anorexia
Intake nutrisi tidak adekuat
Kehilangan cairan dan elektrolit
|
Risiko ketidakseimbangan volume
cairan tubuh
|
||||||
Ds : rewel dan merasa kurang nyaman
akibat kolostomi
Do : BAB melalui kolostomi
|
Intervensi pembedahan
Kerusakan jaringan pasca pembedahan
|
Risiko injuri
|
||||||
Ds : pasien merasa demam
Do : hipertermi (suhu 38o C)
|
Obstruksi kolon proksimal
Intervensi pembedahan
Kerusakan jaringan pasca pembedahan
|
Risiko infeksi
|
G.
Diagnosa
keperawatan prioritas
Pre Operasi
- Risiko konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik
- Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.
Post Operasi
- Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus
- Resiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.
H.
Intervensi
keperawatan
Diagnosa
keperawatan
|
Tujuan dan
Kriteri hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1.
Risiko konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon,
sekunder, obstruksi mekanik
|
Tujuan : pola BAB normal
Kriteria hasil : pasien
tidak mengalami konstipasi,pasien mempertahankan defekasi setiap hari
|
1. Observasi
bising usus dan periksa adanya distensi abdomen pasien. Pantau dan catat
frekuensi dan karakteristik feses.
2. Catat
asupan haluaran secara akurat
3. Dorong
pasien untuk mengonsumsi cairan 2,5 L setiap hari, bila tidak ada
kontraindikasikan
4. Lakukan
program defekasi. Letakkan pasien di atas pispot atau commode pada saat
tertentu setiap hari, sedekat mungkin kewaktu biasa defekasi (bila diketahui)
5. Berikan
laksatif, enema atau supositoria sesuai instruksi.
|
1. Untuk
menyusun rencana penanganan yang efektif dalam mencegah konstipasi dan
impaksi fekal
2. Untuk
meyakinkan terapi penggantian cairan yang adekuat.
3. Untuk
meningkatkan terapi penggantian cairan dan hidrasi
4. Untuk
membantu adaptasi terhadap fungsi fisiologis normal.
5. Untuk
meningkatkan eliminasi feses padat atau gas dari saluran pencernaan, pantai
keefektifannya.
|
|
2.
Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan
dengan keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh
intestinal.
|
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi,
Kriteria hasil : turgor
kulit elastic dan normal, CRT < 3 detik
|
1. Timbang
berat badan pasien setiap hari sebelum sarapan
2. Ukur
asupan cairan dan haluaran urine untuk mendapatkan status cairan
3. Pantai berat
jenis urin
4. Periksa
membrane mukosa mulut setiap hari
5. Tentukan
cairan apa yang disukai pasien dan simpan cairan tersebut disamping tempat
tidur pasien, sesuai instruksi.
6. Pantau
kadar elektrolit serum
|
1. Untuk
membantu mendeteksi perubahan keseimbangan cairan
2. Penurunan
asupan atau peningkatan haluaran mengakibatkan deficit cairan
3. Peningkatan
berat jenis urin mengindikasikan dehidrasi. Berat jenis urin rendah
mengindikasikan kelebihan volume cairan.
4. Membrane
mukosa kering merupakan suatu indikasi dehidrasi.
5. Untuk
meningkatkan asupan.
6. Perubahan
nilai elektrolit dapat menandakan awitan ketidak seimbangan cairan
|
|
3.
Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah,
iskemia, nekrosis dinding intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus
|
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam
pascaintervensi reseksi kolon pasien tidak mengalami injuri
Kriteria hasil : TTV dalam
batas normal,(RR : 16-24 x/menit,Suhu : 36oC-37oC,N :
60-100 x/menit, TD : 120/70 mmHg), Kardiorespirasi optimal, Tidak terjadi infeksi pada insisi
|
2.
Monitor tanda dan gejala perforasi atau peritonitis
3.
Lakukan pemasangan selang nasogastrik
4.
Monitor adanya komplikasi pascabedah
5.
Pertahankan status hemodinamik yang optimal
6.
Bantu ambulasi dini
7.
Hadirkan orang terdekat
8.
Kolaborasi pemberian antibiotik pascabedah
|
1.
Pascabedah terdapat resiko rekuren dari hernia umbilikalis
akibat peningkatan tekanan intra abdomen
2.
Perawat yang mengantisipasi resiko terjadinya perforasi
atau peritonitis. Tanda gejala yang penting adalah anak rewel tiba-tiba dan
tidak bisa dibujuk atau diam oleh orangtua atau perawat, muntah-muntah,
peningkatan suhu tubuh dan hilangnya bising usus. Adanya pengeluaran pada
anus yang berupa cairan feses yang bercampur darah merupakan tanda klinik
penting bahwa telah terjadi perforasi.semua perubahan yang terjadi
didokumentasikan oleh perawat dan laporkan pada dokter yang merawat.
3.
Tujuan memasang selang nasogastrik adalah intervensi
dekompresi akibat respon dilatasi dan kolon obstruksi dari kolon aganglionik.
Apabila tindakan dekompresiini optimal, maka akan menurunkan distensi
abdominal yang menjadi penyebab utama nyeri abdominal pada pasien
hirschsprung.
4.
Perawat memonitor adanya komplikasi pascabedah seperti
mencret atau ikontinensia fekal, kebocoran anastomosis,formasi striktur,
obstruksi usus, dan enterokolitis. Secara kondisi
5.
Pasien akan
mendapatkan cairan intravena sebagai pemeliharaan status hemodinamik
6.
Pasien dibantu turun dari tempat tidur pada hari pertama
pascaoperatif dan didorong untuk mulai berpartisipasi dalam ambulasi dini.
7.
Pada anak menghadirkan orang terdekat dapat menpengaruhi
penurunan respon nyeri. Sedangkan pada dewasa merupakan tambahan dukungan
psikologis dalam menghadapi masalah kondisi nyeri baik akibat dari kolik
abnomen atau nyeri pascabedah.
8.
Antibiotik menurunkan resiko infeksi yang akan menimbulkan
reaksi inflamasi lokal dan dapat memperlama proses penyembuhan
pascafunduplikasi lambung
|
|
4.
Risiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur
pembedahan.
|
Tujuan : suhu dalam keadaan normal (36-37o C)
kriteria hasil : suhu dalam rentang normal, tidak ada pathogen yang
terlihat dalam kultur, luka dan insisi terlihat bersih, merah muda, dan bebas
dari drainase purulen.
|
1.
Minimalkan risiko infeksi pasien dengan :
a.
Mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan perawatan
b.
menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis
pada saat memberikan perawatan langsung
2.
Observasi suhu
minimal setiap 4 jamdan catat pada kertas grafik. Laporkan evaluasi kerja.
|
1.a. mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik untuk
mencegah penularan pathogen.
1.b. sarung tangan dapat melindungi tangan pada saat memegang
luka yang dibalut atau melakukan berbagai tindakan.
2.
Suhu yang terus meningkat setelah pembedahan dapat
merupakan tanda awitan komplikasi pulmonal, infeksi luka atau dehisens
|
I.
Implementasi dan
Evaluasi keperawatan
No. diagnosa kep.
|
Implementasi
|
TTD
|
Evaluasi
|
1
|
1. mengobservasi
bising usus dan periksa adanya distensi abdomen pasien. Pantau dan catat
frekuensi dan karakteristik feses.
2. mencatat
asupan haluaran secara akurat
3. mendorong
pasien untuk mengonsumsi cairan 2,5 L setiap hari, bila tidak ada
kontraindikasikan
4. melakukan
program defekasi. Letakkan pasien di atas pispot atau commode pada saat
tertentu setiap hari, sedekat mungkin kewaktu biasa defekasi (bila diketahui)
5. memberikan
laksatif, enema atau supositoria sesuai instruksi.
|
S : pasien tidak rewel lagi
O : konstipasi berkurang, tidak ada distensi abdomen,
peristaltic meningkat, kembung berkurang
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
|
|
2
|
1. menimbang
berat badan pasien setiap hari sebelum sarapan
2. mengukur
asupan cairan dan haluaran urine untuk mendapatkan status cairan
3. memantai
berat jenis urin
4. memeriksa
membrane mukosa mulut setiap hari
5. menentukan
cairan apa yang disukai pasien dan simpan cairan tersebut disamping tempat
tidur pasien, sesuai instruksi.
6. memantau
kadar elektrolit serum
|
S : pasien tidak merasa haus, tidak rewel lagi
O : turgor kulit baik dan normal, mukosa mulut tidak kering
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
|
|
3
|
1.
mengobservasi faktor-faktor yang meningkatkan resiko
injuri
2.
memonitor tanda dan gejala perforasi atau peritonitis
3.
melakukan pemasangan selang nasogastrik
4.
memonitor adanya komplikasi pascabedah
5.
mempertahankan status hemodinamik yang optimal
6.
membantu ambulasi dini
7.
menghadirkan orang terdekat
8.
melakukan kolaborasi pemberian antibiotik pascabedah
|
S : rewel pasien berkurang dan mulai nyaman dengan
terpasangnnya kolostomi
O : terpasang kolostomi
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
|
|
4
|
1.
meminimalkan risiko infeksi pasien dengan :
c.
Mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan perawatan
a.
menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis
pada saat memberikan perawatan langsung
2.
mengobservasi suhu minimal setiap 4 jamdan catat pada
kertas grafik. Laporkan evaluasi kerja
|
S : pasien tidak meriang lagi
O : Suhu normal (36-37o C)
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
|
BAB III
PENUTUP
A.
kesimpulan
Hirschsprung
disebut juga dengan megakolon congenital, merupakan kelainan ditemukan sebagai
salah satu penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kasus Hirschsprung tidak
ditemukan pleksus mientorik atau pleksus di lapisan otot dinding usus,(plexus
myentericus = Aurebach) akibatnya bagian usus yang terkena tidak dapat
mengembang.
Masalah
setelah pembedahan yang dapat ditemukan adalah enterokolitis berulang,struktur
prolaps, abses perianal, dan pengotoran feses.
Obstipasi
(sembelit) merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir dapat merupakan
gejala obstruksi akut. Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan meliputi
mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam). Perut kembung dan muntah
berwarna hijau. Pada neonatus kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya
mekonium selama 3 hari atau bahkan lebih
B.
Saran
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna dan kurang lengkap,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapakan.
Daftar pustaka
http://medicastore.com/penyakit/903/Penyakit_Hirschprung.html. di download pada hari kamis 10
mei 2012 jam 13.40.
Mutaqin, Arif dan Kumala
Sari.2011.Gangguan Gastrointestinal,
Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : Salemba Medika.
Nugroho, Taufan.2011.Asuhan Keperawatan Maternitas,Anak, Bedah
dan Penyakit Dalam.Yogyakarta : Nuha Medika.
Sodikin.2011.Asuhan Keperawatan
Anak, Gangguan Sistem Gastronintestinal dan Hepatobilier.Jakarta : Salemba
Medika.
Taylor, M. Cynthia, Sheila Sparks
Ralph.2010.Diagnosis Keperawatan dengan
Rencana Asuhan Edisi : 10.Jakarta : EGC.
This is the most interesting information and fit into our topic. I want to share it with my friends obat hisprung Thankyou
BalasHapus